MAKALAH KESULITAN MENDATANGKAN KEMUDAHAN
DAFTAR
ISI
BAB I:PENDAHULUAN
...............................................................................
1
|
A.
LATAR BELAKANG
..........................................................................
1
|
B.
RUMUSAN MASALAH
......................................................................
2
|
C. TUJUAN PENULISAN ……………………………………………… 2
|
BAB II:PEMBAHASAN
......................................................................................
3
|
A. MAKNA KAIDAH …………..............................................................
3
|
B. DALIL ATAU DASAR KAIDAH …………………………………... 4
|
C. SEBAB-SEBAB ADANYA
KESULITAN….…………….................... 3
|
D. MACAM-MACAM RUKHSHAH……………………………………... 7
E. HUKUM-HUKUM RUKHSHAH ………………………………………8
F. KAIDAH FURU’
…………………………………………………………9
|
BAB III:
KESIMPULAN DAN PENUTUP ......................................................... 12
|
A. KESIMPULAN
.............................................................................. 12
|
B. PENUTUP ...................................................................................... 12
|
DAFTAR
PUSTAKA
............................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan
itu mendatangkan kemudahan”. Yang dikenal dengan nama: ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ .
Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah.
Mayoritas dispensasi syar’i didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah
fiqhiyah, Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah ushuliyah ai-ammah.Bahkan
menjadi Qa’idah yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang
mendasari dan menjadi landasan tumpuannya sangant sempurna.
[1]
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk
melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak
sesuai dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah
tujuan dasar dari “pemilik syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan
syari’ah Islam. [2]
Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara
kontinyu. Orang yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak
memungkinkan sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa
kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi
dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian
jauh-berdasarkan kebiasaan –mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam
melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan. [3]
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
makna yang terkandung dalam kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ ?
2. Apa
dalil dari kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ ?
3. Bagaimana
penerapan kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
Mengetahui makna yang terkandung dalam kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
2. Untuk
Mengetahui dalil dari kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
3. Untuk
Mengetahui penerapan kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
“Kesukaran
mendatangkan kemudahan”[4]
Masyaqqoh
secara etimologi berarti keletihan(al-juhd), kepayahan (al-‘ina’), dan
kesempitan (al-syiddah). Sementara jalb al-syai’ berarti mengiring dan
mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainya. Sedangkan at-taisir
berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan.[5]
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah
:
ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻠﺗﻲ ﻴﻧﺷﺎ ﻋﻥ ﺘﻂﺒﻳﻗﻬﺎ ﺤﺭﺝ
ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﻭﻤﺸﻗﺔ ﻔﻰ ﻨﻓﺳﻪ ﺍﻭ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﺎﺍﻟﺸﺭﻳﻌﺔ ﺘﺨﻓﻓﻬﻣﺎ ﺒﻣﺎ ﻴﻗﻊ ﺘﺣﺕ ﻗﺩﺭﺓ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﺩﻭﻥ ﻋﺳﺭ ﺍﻭ ﺨﺭﺝ
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri
dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga
beban tersebut berada di bawah kemampuan mulkallaf tanpa kesulitan dan
kesusahan.”[6]
Arti dari qoidah ini adalah suatu kesusahan yang
mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hokum yang mengandung kesulitan
dalam pelaksanaanya atau berpotensi mendatangkan bahaya dalam pelaksanaanya,
baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, maka harus diringankan
sehingga tidak menyuitkan dan membahayakana lagi.[7]
Jadi dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat
dilaksanakan oleh hambaNya / mukallaf kapan saja dan dimana saja yakni dengan
memberikan kelonggaran atau keringanan disaat seseorang hamba menjumpai
kesukaran dan kesempitan.[8]
B.
Dalil atau Dasar Kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
Terdapat dasar-dasar yang meyakinkan mengenai kaidah asasi
ketiga ini. Dasar dasar tersebut berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar kaidah asasi
ketiga adalah :
a)
Al-Qur’an.
1)
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185
:
ﻴﺮﻴﺪ ﺍﷲ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻴﺴﺭ ﻮﻻ ﻴﺮﻴﺪﻜﻡ ﺍﻠﻌﺴﺭ
“Allah menghendaki kemudahan dengan kalian dan tidaklah
menghendaki kesukaran dengan kalian”
2)
Al-Qur’an surat Al-Hajj
ayat 78 :
ﻮﻤﺎﺠﻌﻝ ﻋﻠﻳﻛﻡ ﻔﻰ ﺍﻠﺩﻳﻥ ﻤﻥ ﺤﺭﺝ
“dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama
suatu kesulitan”
b)
Al-Hadits.
1)
Sabda Nabi SAW.:[9]
ﺒﻌﺛﺕ ﺒﺎ ﻠﺤﻧﻳﻓﻳﺔ ﺍﻠﺳﻣﺤﺔ ﺍﻠﺳﻬﻠﺔ
(Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan
mudah).(H.R Ahmad dari Ibnu Abbas)
2)
Sabda Nabi SAW.:
ﺍﻦ ﷲ ﺃﺮﺍﺩ ﺒﻬﺫ ﺍﻻﻣﺔ ﺍﻠﻴﺳﺮ ﻮﻠﻡ ﻴﺮﺩ ﺒﻬﻡ
ﺍﻠﻌﺳﺮ
(Sesungguhnya
Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menghendaki
kesukaran dengan mereka)
Dua ayat tersebut disajikan secara seimbang: ayat pertama
dan ayat kedua berisi tentang keringanan dan kemudahan; sedangkan dari hadits
tersebut masih berkaitan erat dengan ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185
dan dengan Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 78, bahwa dari kedua hadits tersebut
hadist pertama tersebut diatas berisikan tentang kebenaran Nabi diutus oleh
Allah untuk membawa agama yang benar dan mudah, dan dalam hadits Nabi yang ke
dua tersebut diatas bahwa Allah menghendaki kemudahan dengan umat Nabi Muhammad
SAW dan tidak menghendaki kesulitan.
C.
Sebab-sebab Adanya Kesulitan.
Abdurrahman as-Syuyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya
menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan, yaitu :[10]
a.
Safar (Bepergian)
Safar (Pejalanan) panjang adalah keluar mengadakan
perjalanan menuju daerah yang berjarak tempuh tiga hari perjalanan atau lebih
dengan menggunakan unta atau jalan kaki. Atau diperkirakan sekitar 20 1/3 jam
atau 86 km menurut kalangan ulama madhab Hanafi, sementara menurut kalangan
ulama madhab Syafi’I jarak tempuhnya diperkirakan 96km.[11]
Menurut Imam Nawawi, kesulitan ini menjadikan 8 macam
keringanan, yaitu : boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, boleh memakai
muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan jumat, memakan bangkai, shalat
jamak, menggunakan kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.
b.
Marodl (Sakit)
Sakit merupakan salah satu alas an hokum (‘udzr syar’i)
yang dijadikan sebagai sebab pemberian keringanan dan penghilangan kesukaran
dari subyek hokum (mukallaf). Sakit adalah suatu kondisi tidak normal yang
terjadi pada fisik manusia dan menimbulkan gangguan pada kinerja tubuh.[12]
Misalnya kebolehan bertayamum, duduk ketikanshalat dan
khutbah yang semula diwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan
sholat jum’at, berbuka puasa dengan menbayar fidyah atau menberi makan orang
miskin, berobat dengan benda najis, kebolehan melihat auratnya.
c.
Ikrah (Terpaksa atau dipaksa)
Adapun definisi paksaan (ikrah) menurut
terminologi syara’adalahmenekankan orang lain untuk melakukan
sesuatu yang dibencinya dan tidak ingin dilakukannya seandainya tidak ditekan.[13]
Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia
dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau
minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.[14]
d.
Nisyan (Lupa)
Lupa adalah ketidakmapuan menhadirkan(mengingat)sesuatu saat
dibutuhkan.[15]
Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi
kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal.[16]
e.
Jahl (Bodoh)
Secara terminologi kalangan ahli hokum syar’i mendefinisikan al-jahl adalah
ketidak pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i baik secara
keseluruhan maupum sebagiannya.[17]
Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.
Perbedaan antara ketidak tahuan (jahl) dan Lupa (Nisyan)
jika lupa termasuk perkara-perkara darurat yang datang secara paksa pada diri
manusia sehingga tidak kuasa ditolaknya. Sedangkan kebodohan atau ketidaktahuan
dapat dihindari manusia dengan jalan pembelajaran.[18]
f.
Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan)
Al-Usr (kesulitan) adalah kesusahan kesukaran. Kesulitan
identic dengan kefakiran, sehingga laki-laki yang sulit berarti laki-laki yang
rendah tingkat toleransinya dalam segala sesuatu.[19]
Adapun ‘umum al-balwa (bencana umum) adalah bencana yang
menimpa kebanyakan orang sehingga sulit dihindari dan dijauhi.[20]
Misalnya: laki-laki diperbolehkan mengenakan sutera karena
penyakit gatal dan di tebngah-tengah peperangan untuk nggetarkan hati musuh dan
tidak diwajibkannya qadha’, mengganti shalat wajib bagi wanita haid karena kesulitan
pengulangan (masyaqqah tikrar), tidak seperti puasa.[21]
g.
Naqsh (Kekurangan)
Kekurangan alamiah adalah salah satu alasan hukum yang sah (‘udzur)
yang meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan hukum syar’i.[22]
Terkaid dengan wanita, syara’ telah banyak memangkas beban kewajiban dari
pundak mereka dibandingkan beban kewajiban yang dipikul kaum laki-laki,
misalnya kewajiban shalat jamaah dan Jum’at, ikut ikut dalam barisan jihad,
dibebaskan untuk membayar jizyah, dan sebagainya. Kaum wanita juga diperbolehkan
memakai kain sutera, memakai perhiasan emas, dan tidak mengganti (qadha’)
shalat fardhu yang ditinggalkannya selama masa haid atau nifas (pasca
persalinan) demi menghilangkan kesulitan dan menepis kesukaran yang berurang
ulang (masyaqqah tikrar) akibat adanya halangan yang bersifatperiodik
dan terus menerus. Ketentuan tersebut berbeda denagn puasa yang tetap
diwajibkan untuk mereka mengganti di lain hari karena tidak ada halangan dan
kesulitan dalam menggantinya.[23]
a.
Takhfif Isqath (keringanan dalam bentuk pengguguran kewajiban),
misalnya pengguguran kewajiban shalat jum’at, haji, umrah, jihad dan
kewajiban-kewajiban lain karena adanya berbagai alasan hukum yang sah (‘udzur).
b.
Takhfif Tanqish (keringanan dalam bentuk pengurangan),
misalnya dalam kasus shalat qashar.
c.
Takhfif Ibdal (keringanan dalam bentuk penggantian),
misalnya shalat dengan posisis berdiri di ganti dengan posisi duduk dan
berbaring atau dengan isyarat.
d.
Takfif Taqdim (keringanan dalam bentuk pendahuluan),
misalnya kebolehan melakukan jama’ taqdim, pembayaran zakat sebelum jatuh
tempo, pembayaran zakat fitrah selama bulan Ramadhan.
e.
Takhfif Ta’khir (keringanan dalam bentuk penundaan), misalnya
keringanan untuk menjamak ta’khir shalat, penundaan orang puasa Ramadhan bagi
orang sakit dan musyafir.
f.
Takhfif tarkhish (keringanan dalam bentuk dispensasi),
misalnya memakan barang najis untuk keperluan pengobatan.
Al-‘Alla’I menambahkan yang satu lagi bentuk rukhshah yang
diberi namarukshah takhfif-tahyir (yaitu keringanan dalam bentuk
perubahan) seperti perubahan urutan sholat dalam kondisi ketakutan (khauf),
misalnya shalat dalam masa peperangan.
Bila di tilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi
menjadi lima:
a.
Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi
orang yang sedang kelaparan, atau meminum arak (khamr) bagi seseorang
yang tenggorakannya tersumbat hingga tidak barnafas.
b.
Rukhshah sunah. Misalnya shalat qashar bagi
seorang musafir yang telah melakukan perjalanan panjang dua marhalah atau
lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang
mengalami masyaqqah billa melaksanakan puasa.
c.
Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi
pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah).
d.
Rukhshah khalif al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti
berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila
harus mengerjakannya.
e.
Rukhshah makruh. Contohnya meng-qashar shalat dalam
perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah.
F.
QA’IDAH FURU’.
Dari Qa’idah pokok ini kemudian
berkembang dan melahirkan beberapa Qa’idah furu’, diantaranya:
1)
إذا
ضاق الأمر اتسع
“Ketika suatiu perkara telah menjadi sempit,
maka harus diperlonggar”.
Qa’idah ini merupakan perkataan
langsung dari Imam Syafi’i yang dikemukakan saat menjawab tiga pertanyaan yang
diajukan oleh tiga sahabatnya:
Pertama, apabila seorang wanita tidak
mempunyai wali (atau ada wali tetapi berada ditempat jauh) melakukan
perjalanan. Hanya saja ia tidak menemukan wali yang bisa menikahkannya. Oleh
karena itu ia mengangkat seorang laki-laki untuk dijadikan wali. Bagaimankah
hokum pengangkatan wali tersebut? Imam Syafi’i menjawab:ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ Maksudnya, karena kondisi wanita
tersebut dalam keadaan sulit, maka ia diperbolehkan hal tersebut, dan hokum
pernikahannya syah.[26]
Kedua, Tempat air terbuat dari tanah yang
bercampur kotoran hewan, bolehkah wudlu menggunakan air dalam tempat (wadah)
tersebut? ImamSyafi’i menjawab tidak najis karena, ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ .[27]
Ketiga, Seekor lalat hinggap diatas benda
yang najis, kemudian terbang dan hinggap dibaju seseorang. Najiskah hokum baju
tersebut? Imam Syafi’i menjawab: apabila saat terbang dari benda najis tersebut
kedua kakinya basah, maka hukumnya baju yang dihinggapi adalah najis (tidak
syah dukenakan shalat), jika tidak basah maka boleh dikenakan, karena:
ﺇﺬﺍ
ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ.[28]
Maksud dari Qa’idah yang digunakan
Imam Syafi’i sebagai jawaban ini adalah kondisi sulit dan sempit seperti itu
(sulit menelitinya) menyebabkan seseorang boleh melakukan sesuatu yang mestinya
tidak boleh. [29] Maka
untuk membatasi hal tersebut muncul kaidah:
ﺇﺬﺍ ﺍﺘﺳﻊ
ﺍﻷﻤﺭ ﻀﺎﻕ
“Ketika suatu perkara telah menjadi longgar,
maka harus dipersempit.”
Qa’idah ini muncul untuk membatasi
Qa’idah ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ.
Dimana apabila suatu perkara telah menjadi longgar, maka harus dipersempit.
Umpamanya:
Ketika perang sedanng berkecamuk,
kita melakukan shalat khauf dengan diperbolehkan banyak bergerak. Tetapi di
tengah–tengah shalat, tiba-tiba keadaan menjadi reda dan musuh menjauh, maka
tida lagi diperkenankan banyak bergerak dalam shalat tersebut.[30]
Qa’idah ini juga dimaksud untuk
tidak meringankan yang sudah ringan. Qa’idah ini menyebutknan apabila kondisi
sudah kembali normal (sudah longgar kembali), atau kesulitan dan keresahan
sudah bisa dihilangkan, maka tidak diperbolehkan melakukan suatu pada saat
keadaan sulit.[31]
Kemudian kaidah ini digabungkan
menjadi satu, yaitu:
ﺇﺬﺍ
ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ
ﺇﺬﺍ ﺍﺘﺳﻊ
ﺍﻷﻤﺭ ﻀﺎﻕ
“Ketika suatu perkara menjadi sempit
maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya memyempit.”
Qa’idah ini juga menunjukkan
fleksibilitas hukum islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap
keadaan.[32]
2)
إذا
تعذر الأصل يصار إلى البدل
”Apabila yang asli sukar dikerjakan
maka berpindah kepada penggantinya”.
Contohnya: Tayamum sebagai pengganti
wudlu. Seseorang yang menggasab harta orang lain, wajib mengembalikan harta
aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak
mungkin dikembalikan, maka dia wajib menggantinya dengan harganya.[33]
Dalam fiqh siyasah, kaidah ini
banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas
kepemimpinan. Misalnya, ada istilah PMJT (pejabat yang melaksanakan tugas). Karena
pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain sebagai
penggantinya.
3) ما لا يمكن التحرز منه معفو عنه
“Apa yang tidak mingkin menjaganya
(menghindarnya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang puasa,
kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau
masih ada sisa-sisanya. Darah pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan
cucian.[34]
4)
الرخص لا تناط بالمعاصى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”.
Kaidah ini bertujuan untuk menjaga
agar suatu keringanan tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan
atau dosa). Misalnya: orang yang berpergian untuk berjudi kehabisan uang dan
kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang
yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi
tersebut.[35]
BAB III
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,
kepenatan, keletihan), Sedang arti al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah,
ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah
2.
Kesulitan yang bisa meringankan taklif adalah
kesulitan yang di khawatirkan akan terputusnya
ibadah atau di khawatirkan kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, maupun hartanya.
3.
Masaqqot di bagi menjadi tiga, yaitu
: berat, sedang, dan ringan.
B.
Penutup
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan dan tentunya kami sebagai pe-makalah tidak
luput dari kesalahan-kesalahan, maka saran maupun kritik kami harapkan untuk
perbaikan makalah yang akan datang, kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih.
[1] Sudirman
Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, (jakarta :
Anglo Media, 2004), Hal. 77.
[3] Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh
Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta : P.T. RajaGrafindo Persada, 2002 ) Hal.
138.
[5] H. Toha Andiko M.Ag ilmu qowaid fiqhiyyah hal : 89
[7] Dr.H. Toha andiko, M.Ag, ilmu qowaid fiqhiyyah,hal : 90
[8] Ahmad Sudirman Abbas, Qowaid
Fiqiyyah Dalam Perspektif Fiqh ,(Jakarta: Aglo Media,
2004), Hal. 79
[9] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997),
Hal. 124
[11] Nashr Farid Muhammad
Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qowa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:
Amzah. 2009), Hal. 96
[14] Moh Adib Bisri, Terjemah
al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, (Kudus: Menara Kudus,1977),
Hal. 18
[16] Ahmad Yasin. http://yasin47.wordpress.com/2010/06/21/kaidah-kesulitan-mendatangkan-kemudahan/, diakses tanggal 6 April 2011.
[24] Ma’shum Zein. Pengantar
Memahami Nadhom Al-Faroidul Bahiyyah (Jombang: Darul Hikmah, 2010),
Hal. 120
[25] Abdul Haq dkk, Formulasi
Nalar Fiqh; Telaah Fiqh Konseptual (Surabaya: Khalista, 2009), Hal.
182-183.
|