Saturday, June 14, 2014

konsep kesulitan mendatangkan kemudahan

MAKALAH KESULITAN MENDATANGKAN KEMUDAHAN


DAFTAR ISI

BAB I:PENDAHULUAN      ...............................................................................    1
    A. LATAR BELAKANG   ..........................................................................  1
    B. RUMUSAN MASALAH  ......................................................................   2
    C. TUJUAN PENULISAN   ………………………………………………  2
BAB II:PEMBAHASAN  ......................................................................................   3
    A. MAKNA KAIDAH   …………..............................................................   3
           B. DALIL ATAU DASAR KAIDAH  …………………………………...   4
    C. SEBAB-SEBAB ADANYA KESULITAN….……………....................  3
           D. MACAM-MACAM  RUKHSHAH……………………………………... 7
           E. HUKUM-HUKUM  RUKHSHAH ………………………………………8
           F. KAIDAH FURU’ …………………………………………………………9
BAB III: KESIMPULAN DAN PENUTUP .........................................................     12
    A. KESIMPULAN    ..............................................................................    12
    B. PENUTUP     ......................................................................................   12
DAFTAR PUSTAKA  ............................................................................................   13

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam  penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu mendatangkan  kemudahan”. Yang dikenal  dengan  nama: ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ .
Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah, Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah ushuliyah ai-ammah.Bahkan menjadi Qa’idah yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan tumpuannya sangant sempurna. [1]
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam. [2]
Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh-berdasarkan kebiasaan –mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan. [3]



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna yang terkandung dalam kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ  ?
2.      Apa dalil dari kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ ?
3.      Bagaimana penerapan kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk Mengetahui makna yang terkandung dalam kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ  
2.      Untuk Mengetahui dalil dari kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ 
3.      Untuk Mengetahui penerapan kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ 




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna Kaidah  ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
“Kesukaran mendatangkan kemudahan[4]
Masyaqqoh secara etimologi berarti keletihan(al-juhd), kepayahan (al-‘ina’), dan kesempitan (al-syiddah). Sementara jalb al-syai’ berarti mengiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan.[5]
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :
ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻠﺗﻲ ﻴﻧﺷﺎ ﻋﻥ ﺘﻂﺒﻳﻗﻬﺎ ﺤﺭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﻭﻤﺸﻗﺔ ﻔﻰ ﻨﻓﺳﻪ ﺍﻭ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﺎﺍﻟﺸﺭﻳﻌﺔ ﺘﺨﻓﻓﻬﻣﺎ ﺒﻣﺎ ﻴﻗﻊ ﺘﺣﺕ ﻗﺩﺭﺓ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﺩﻭﻥ ﻋﺳﺭ ﺍﻭ ﺨﺭﺝ
Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mulkallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.[6]
Arti dari qoidah ini adalah suatu kesusahan yang mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hokum yang mengandung kesulitan dalam pelaksanaanya atau berpotensi mendatangkan bahaya dalam pelaksanaanya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, maka harus diringankan sehingga tidak menyuitkan dan membahayakana lagi.[7]
Jadi dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh hambaNya / mukallaf kapan saja dan dimana saja yakni dengan memberikan kelonggaran atau keringanan disaat seseorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan.[8]

B.     Dalil atau Dasar Kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
Terdapat dasar-dasar yang meyakinkan mengenai kaidah asasi ketiga ini. Dasar dasar tersebut berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar kaidah asasi ketiga adalah :
a)      Al-Qur’an.
1)        Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185 :
ﻴﺮﻴﺪ ﺍﷲ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻴﺴﺭ ﻮﻻ ﻴﺮﻴﺪﻜﻡ ﺍﻠﻌﺴﺭ
Allah menghendaki kemudahan dengan kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan kalian”
2)        Al-Qur’an surat  Al-Hajj ayat 78 :
  ﻮﻤﺎﺠﻌﻝ ﻋﻠﻳﻛﻡ ﻔﻰ ﺍﻠﺩﻳﻥ ﻤﻥ ﺤﺭﺝ
   “dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan
b)     Al-Hadits.
1)        Sabda Nabi SAW.:[9]
  ﺒﻌﺛﺕ ﺒﺎ ﻠﺤﻧﻳﻓﻳﺔ ﺍﻠﺳﻣﺤﺔ ﺍﻠﺳﻬﻠﺔ
(Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah).(H.R Ahmad dari Ibnu Abbas)      
2)        Sabda Nabi SAW.:
ﺍﻦ ﷲ ﺃﺮﺍﺩ ﺒﻬﺫ ﺍﻻﻣﺔ ﺍﻠﻴﺳﺮ ﻮﻠﻡ ﻴﺮﺩ ﺒﻬﻡ ﺍﻠﻌﺳﺮ
(Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan mereka)
Dua ayat tersebut disajikan secara seimbang: ayat pertama dan ayat kedua berisi tentang keringanan dan kemudahan; sedangkan dari hadits tersebut masih berkaitan erat dengan ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185 dan dengan Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 78, bahwa dari kedua hadits tersebut hadist pertama tersebut diatas berisikan tentang kebenaran Nabi diutus oleh Allah untuk membawa agama yang benar dan mudah, dan dalam hadits Nabi yang ke dua tersebut diatas bahwa Allah menghendaki kemudahan dengan umat Nabi Muhammad SAW dan tidak menghendaki kesulitan.
C.    Sebab-sebab Adanya Kesulitan.
Abdurrahman as-Syuyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan, yaitu :[10]
a.    Safar (Bepergian)
Safar (Pejalanan) panjang adalah keluar mengadakan perjalanan menuju daerah yang berjarak tempuh tiga hari perjalanan atau lebih dengan menggunakan unta atau jalan kaki. Atau diperkirakan sekitar 20 1/3 jam atau 86 km menurut kalangan ulama madhab Hanafi, sementara menurut kalangan ulama madhab Syafi’I jarak tempuhnya diperkirakan 96km.[11]
Menurut Imam Nawawi, kesulitan ini menjadikan 8 macam keringanan, yaitu : boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, boleh memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan jumat, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.
b.   Marodl (Sakit)
Sakit merupakan salah satu alas an hokum (‘udzr syar’i) yang dijadikan sebagai sebab pemberian keringanan dan penghilangan kesukaran dari subyek hokum (mukallaf). Sakit adalah suatu kondisi tidak normal yang terjadi pada fisik manusia dan menimbulkan gangguan pada kinerja tubuh.[12]
Misalnya kebolehan bertayamum, duduk ketikanshalat dan khutbah yang semula diwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan sholat jum’at, berbuka puasa dengan menbayar fidyah atau menberi makan orang miskin, berobat dengan benda najis, kebolehan melihat auratnya.
c.    Ikrah (Terpaksa atau dipaksa)
Adapun definisi paksaan (ikrah) menurut terminologi syara’adalahmenekankan orang lain untuk melakukan sesuatu yang dibencinya dan tidak ingin dilakukannya seandainya tidak ditekan.[13]
Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.[14]
d.   Nisyan (Lupa)
Lupa adalah ketidakmapuan menhadirkan(mengingat)sesuatu saat dibutuhkan.[15]
Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal.[16]
e.    Jahl (Bodoh)
Secara terminologi kalangan ahli hokum syar’i mendefinisikan al-jahl adalah ketidak pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i baik secara keseluruhan maupum sebagiannya.[17]
Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.
Perbedaan antara ketidak tahuan (jahl) dan Lupa (Nisyan) jika lupa termasuk perkara-perkara darurat yang datang secara paksa pada diri manusia sehingga tidak kuasa ditolaknya. Sedangkan kebodohan atau ketidaktahuan dapat dihindari manusia dengan jalan pembelajaran.[18]
f.     Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan)
Al-Usr (kesulitan) adalah kesusahan kesukaran. Kesulitan identic dengan kefakiran, sehingga laki-laki yang sulit berarti laki-laki yang rendah tingkat toleransinya dalam segala sesuatu.[19]
Adapun ‘umum al-balwa (bencana umum) adalah bencana yang menimpa kebanyakan orang sehingga sulit dihindari dan dijauhi.[20]
Misalnya: laki-laki diperbolehkan mengenakan sutera karena penyakit gatal dan di tebngah-tengah peperangan untuk nggetarkan hati musuh dan tidak diwajibkannya qadha’, mengganti shalat wajib bagi wanita haid karena kesulitan pengulangan (masyaqqah tikrar), tidak seperti puasa.[21]
g.    Naqsh (Kekurangan)
Kekurangan alamiah adalah salah satu alasan hukum yang sah (‘udzur) yang meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan hukum syar’i.[22] Terkaid dengan wanita, syara’ telah banyak memangkas beban kewajiban dari pundak mereka dibandingkan beban kewajiban yang dipikul kaum laki-laki, misalnya kewajiban shalat jamaah dan Jum’at, ikut ikut dalam barisan jihad, dibebaskan untuk membayar jizyah, dan sebagainya. Kaum wanita juga diperbolehkan memakai kain sutera, memakai perhiasan emas, dan tidak mengganti (qadha’) shalat fardhu yang ditinggalkannya selama masa haid atau nifas (pasca persalinan) demi menghilangkan kesulitan dan menepis kesukaran yang berurang ulang (masyaqqah tikrar) akibat adanya halangan yang bersifatperiodik dan terus menerus. Ketentuan tersebut berbeda denagn puasa yang tetap diwajibkan untuk mereka mengganti di lain hari karena tidak ada halangan dan kesulitan dalam menggantinya.[23]
D.    Macam-macam Rukhshah[24]
a.    Takhfif Isqath (keringanan dalam bentuk pengguguran kewajiban), misalnya pengguguran kewajiban shalat jum’at, haji, umrah, jihad dan kewajiban-kewajiban lain karena adanya berbagai alasan hukum yang sah (‘udzur).
b.   Takhfif Tanqish (keringanan dalam bentuk pengurangan), misalnya dalam kasus shalat qashar.
c.    Takhfif Ibdal (keringanan dalam bentuk penggantian), misalnya shalat dengan posisis berdiri di ganti dengan posisi duduk dan berbaring atau dengan isyarat.
d.   Takfif Taqdim (keringanan dalam bentuk pendahuluan), misalnya kebolehan melakukan jama’ taqdim, pembayaran zakat sebelum jatuh tempo, pembayaran zakat fitrah selama bulan Ramadhan.
e.    Takhfif Ta’khir (keringanan dalam bentuk penundaan), misalnya keringanan untuk menjamak ta’khir shalat, penundaan orang puasa Ramadhan bagi orang sakit dan musyafir.
f.     Takhfif tarkhish (keringanan dalam bentuk dispensasi), misalnya memakan barang najis untuk keperluan pengobatan.
Al-‘Alla’I menambahkan yang satu lagi bentuk rukhshah yang diberi namarukshah takhfif-tahyir (yaitu keringanan dalam bentuk perubahan) seperti perubahan urutan sholat dalam kondisi ketakutan (khauf), misalnya shalat dalam masa peperangan.
E.     Hukum Hukum Rukhshah[25]
Bila di tilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:
a.      Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau meminum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorakannya tersumbat hingga tidak barnafas.
b.      Rukhshah sunah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan panjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah billa melaksanakan puasa.
c.       Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah).
d.      Rukhshah khalif al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya.
e.       Rukhshah makruh. Contohnya meng-qashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah.
F.     QA’IDAH FURU’.
Dari Qa’idah pokok ini kemudian berkembang dan melahirkan beberapa Qa’idah furu’, diantaranya:
1)                                                                               إذا ضاق الأمر اتسع
“Ketika suatiu perkara telah menjadi sempit, maka harus diperlonggar”.
Qa’idah ini merupakan perkataan langsung dari Imam Syafi’i yang dikemukakan saat menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh tiga sahabatnya:
Pertama, apabila seorang wanita tidak mempunyai wali (atau ada wali tetapi berada ditempat jauh) melakukan perjalanan. Hanya saja ia tidak menemukan wali yang bisa menikahkannya. Oleh karena itu ia mengangkat seorang laki-laki untuk dijadikan wali. Bagaimankah hokum pengangkatan wali tersebut? Imam Syafi’i menjawab:ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ  Maksudnya, karena kondisi wanita tersebut dalam keadaan sulit, maka ia diperbolehkan hal tersebut, dan hokum pernikahannya syah.[26]
Kedua, Tempat air terbuat dari tanah yang bercampur kotoran hewan, bolehkah wudlu menggunakan air dalam tempat (wadah) tersebut? ImamSyafi’i menjawab tidak najis karena, ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ .[27]
Ketiga, Seekor lalat hinggap diatas benda yang najis, kemudian terbang dan hinggap dibaju seseorang. Najiskah hokum baju tersebut? Imam Syafi’i menjawab: apabila saat terbang dari benda najis tersebut kedua kakinya basah, maka hukumnya baju yang dihinggapi adalah najis (tidak syah dukenakan shalat), jika tidak basah maka boleh dikenakan, karena:   ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ.[28]
Maksud dari Qa’idah yang digunakan Imam Syafi’i sebagai jawaban ini adalah kondisi sulit dan sempit seperti itu (sulit menelitinya) menyebabkan seseorang boleh melakukan sesuatu yang mestinya tidak boleh. [29] Maka untuk membatasi hal tersebut muncul kaidah:
ﺇﺬﺍ ﺍﺘﺳﻊ ﺍﻷﻤﺭ ﻀﺎﻕ
“Ketika suatu perkara telah menjadi longgar, maka harus dipersempit.”
Qa’idah ini muncul untuk membatasi Qa’idah  ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ. Dimana apabila suatu perkara telah menjadi longgar, maka harus dipersempit. Umpamanya:
Ketika perang sedanng berkecamuk, kita melakukan shalat khauf dengan diperbolehkan banyak bergerak. Tetapi di tengah–tengah shalat, tiba-tiba keadaan menjadi reda dan musuh menjauh, maka tida lagi diperkenankan banyak bergerak dalam shalat tersebut.[30]
Qa’idah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Qa’idah ini menyebutknan apabila kondisi sudah kembali normal (sudah longgar kembali), atau kesulitan dan keresahan sudah bisa dihilangkan, maka tidak diperbolehkan melakukan suatu pada saat keadaan sulit.[31]
Kemudian kaidah ini digabungkan menjadi satu, yaitu:
ﺇﺬﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺭﺍﺘﺴﻊ ﺇﺬﺍ ﺍﺘﺳﻊ ﺍﻷﻤﺭ ﻀﺎﻕ
“Ketika suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya memyempit.”
Qa’idah ini juga menunjukkan fleksibilitas hukum islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan.[32]
2)                                                                     إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
”Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”.
Contohnya: Tayamum sebagai pengganti wudlu. Seseorang yang menggasab harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan, maka dia wajib menggantinya dengan harganya.[33]
Dalam fiqh siyasah, kaidah ini banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan. Misalnya, ada istilah PMJT (pejabat yang melaksanakan tugas). Karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain sebagai penggantinya.
3)                                                                       ما لا يمكن التحرز منه معفو عنه
“Apa yang tidak mingkin menjaganya (menghindarnya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang puasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisanya. Darah pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.[34]
4)                                                                                     الرخص لا تناط بالمعاصى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”.
Kaidah ini bertujuan untuk menjaga agar suatu keringanan tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Misalnya: orang yang berpergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut.[35]





BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.       al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan, kepenatan, keletihan), Sedang arti al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah
2.       Kesulitan yang bisa meringankan taklif adalah kesulitan yang di khawatirkan akan  terputusnya ibadah atau di khawatirkan kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, maupun hartanya.
3.      Masaqqot di bagi menjadi tiga, yaitu : berat, sedang, dan ringan.

B.     Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan dan tentunya kami sebagai pe-makalah tidak luput dari kesalahan-kesalahan, maka saran maupun kritik kami harapkan untuk perbaikan makalah yang akan datang, kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih.





[1] Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, (jakarta : Anglo Media, 2004), Hal. 77.
[2] Ibid., Hal.77.
[3] Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta : P.T. RajaGrafindo Persada, 2002 ) Hal. 138.
[4] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Vol.2, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Hal. 207
[5] H. Toha Andiko M.Ag ilmu qowaid fiqhiyyah hal : 89
[6] Ibid., Hal. 139
[7] Dr.H. Toha andiko, M.Ag, ilmu qowaid fiqhiyyah,hal : 90
[8] Ahmad Sudirman Abbas, Qowaid Fiqiyyah Dalam Perspektif Fiqh ,(Jakarta:  Aglo Media, 2004), Hal. 79
[9] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam, (Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada, 1997), Hal. 124
[10] Muchlis Usman,   Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam…………., Hal. 128-130
[11] Nashr  Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam,  Qowa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah. 2009), Hal. 96
[12] Ibid., Hal. 127
[13] Ibid., Hal. 134
[14] Moh Adib Bisri, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, (Kudus: Menara Kudus,1977), Hal. 18
[15] Nashr  Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qowa’id Fiqhiyyah…………, Hal. 143
[17] Nashr  Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qowa’id Fiqhiyyah…………, Hal. 150
[18] Ibid., Hal. 164
[19] Ibid., Hal. 165
[20] Ibid., Hal. 165
[21] Ibid., Hal. 169-170
[22] Ibid., Hal. 174
[23] Ibid., Hal. 178-179
[24] Ma’shum Zein. Pengantar Memahami Nadhom Al-Faroidul Bahiyyah (Jombang: Darul Hikmah, 2010), Hal. 120
[25] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Fiqh Konseptual (Surabaya: Khalista, 2009), Hal. 182-183.
[26] Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyah Dalam……….., Hal. 105.
[27] Ibid., Hal.105
[28] Ibid., Hal.105
[29] Ibid., Hal.105
[30] Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah……………, Hal. 21.
[31] Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih…………..,, Hal. 61
[32] Ibid., Hal. 61
[33] Ibid., Hal. 62
[34] Ibid., Hal. 63
[35] Ibid., Hal. 63